Atribusi imbalan kerja adalah proses mengalokasikan manfaat imbalan kerja—seperti pensiun—ke dalam setiap periode masa kerja karyawan. Karena manfaat ini baru dibayarkan di masa depan, perusahaan perlu menyusun strategi pelaporan keuangan yang tepat agar beban imbalan tidak terkonsentrasi di akhir masa kerja, melainkan dicatat secara bertahap dan sistematis selama masa kerja berlangsung.
Namun, dalam praktiknya, atribusi ini diatur secara berbeda oleh dua standar akuntansi yang berlaku di Indonesia: PSAK 219 (dulu dikenal sebagai PSAK 24) dan SAK ETAP (Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik). Perbedaan pendekatan ini menjadi sumber kebingungan yang cukup umum, terutama bagi perusahaan yang sedang bertumbuh dan mempertimbangkan transisi dari SAK ETAP ke PSAK umum.
Untuk menjawab kebingungan tersebut, Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) menerbitkan Siaran Pers pada tahun 2022 yang secara eksplisit mempertegas posisi dan batasan dalam penggunaan kedua standar tersebut.
Apa itu Atribusi Imbalan Kerja? #
Atribusi imbalan kerja merujuk pada cara perusahaan membagi manfaat imbalan kerja (seperti pensiun) ke setiap periode jasa karyawan. Karena manfaat tersebut dibayarkan di masa depan, perusahaan perlu mencatatnya sebagai beban secara sistematis selama karyawan masih bekerja, agar tidak menumpuk di akhir masa kerja.
Namun, pendekatan atribusi ini berbeda antara PSAK 219 dan SAK ETAP. Mari kita bahas lebih lanjut.
PSAK 219: Atribusi Berbasis Aktuaria #
PSAK 219 adalah standar akuntansi yang wajib digunakan oleh entitas dengan akuntabilitas publik seperti perusahaan Tbk, BUMN, atau perusahaan besar lainnya. PSAK ini mewajibkan penggunaan metode aktuaria, khususnya Projected Unit Credit (PUC).
PUC mengasumsikan bahwa manfaat imbalan kerja akan meningkat seiring waktu akibat faktor kenaikan gaji, usia pensiun, tingkat mortalitas, dan diskonto. Metode ini menghitung nilai kini dari manfaat pensiun yang diproyeksikan, lalu mengalokasikan biaya secara proporsional terhadap masa kerja hingga pensiun.
Sebagai contoh, jika seorang karyawan bekerja 10 tahun dari total 30 tahun masa kerjanya, maka perusahaan akan mengakui 10/30 dari total manfaat pensiun yang diproyeksikan.
Siaran Pers DSAK IAI 2022: #
Dalam siaran pers resminya, DSAK IAI menegaskan bahwa PSAK 24 (kini PSAK 219) tetap mengharuskan penggunaan metode aktuaria berbasis PUC. Standar ini harus digunakan secara konsisten oleh entitas yang tunduk pada SAK umum, dan tidak diperkenankan menggantinya dengan pendekatan kas basis, even jika perusahaan berpendapat hal itu “lebih sederhana”.
SAK ETAP: Sederhana tapi Tidak Menggunakan Aktuaria #
SAK ETAP disusun khusus untuk entitas tanpa akuntabilitas publik—seperti UMKM, koperasi, yayasan, atau entitas non-profit kecil. Standar ini tidak mewajibkan metode aktuaria, dan tidak secara eksplisit menyebut metode atribusi seperti PUC.
Dalam praktiknya, entitas pengguna SAK ETAP sering mengakui beban imbalan kerja saat manfaat akan dibayar, bukan selama masa kerja berlangsung. Hal ini karena pendekatannya cenderung berbasis kas, dan tidak menggunakan proyeksi kenaikan gaji atau diskonto.
Dengan demikian, beban imbalan kerja cenderung kecil di awal, tapi bisa melonjak tajam saat karyawan pensiun atau berhenti. Ini berbeda jauh dari PSAK 219 yang menyebarkan beban secara bertahap.
Siaran Pers DSAK IAI 2022: #
DSAK IAI dalam siaran pers tahun 2022 juga menyatakan bahwa SAK ETAP memang tidak mengatur secara eksplisit penggunaan metode aktuaria, sehingga pendekatan kas atau berbasis pembayaran aktual dianggap masih diperbolehkan, selama entitas tidak memiliki kewajiban untuk menggunakan SAK umum.
Namun, jika perusahaan menggunakan SAK ETAP tetapi memiliki struktur imbalan kerja yang kompleks atau mendekati skala perusahaan besar, disarankan mempertimbangkan untuk berpindah ke PSAK 219 agar informasi dalam laporan keuangan lebih representatif.
Dampak Praktis dari Perbedaan #
Aspek | PSAK 219 (PSAK 24) | SAK ETAP |
---|---|---|
Metode Atribusi | Projected Unit Credit (PUC) | Tidak ditentukan (sering kas basis) |
Asumsi Kenaikan Gaji | Wajib dipertimbangkan | Tidak wajib |
Diskonto / Mortalitas | Ya | Tidak |
Pengakuan Beban | Proporsional selama masa kerja | Mendekati saat manfaat dibayarkan |
Kewajiban Gunakan Aktuaria | Ya, wajib | Tidak wajib |
Diperuntukkan untuk | Perusahaan besar / audited | UMKM, yayasan, koperasi, dll |
Perbedaan antara PSAK 219 dan SAK ETAP bukan hanya soal teknis perhitungan, tetapi juga mencerminkan filosofi pelaporan yang berbeda. PSAK 219 menekankan akurasi dan transparansi jangka panjang, sementara SAK ETAP menawarkan kesederhanaan operasional untuk entitas kecil.
Namun, setelah keluarnya Siaran Pers DSAK IAI tahun 2022, sudah tidak ada alasan bagi perusahaan untuk mencampur keduanya. Entitas yang menggunakan SAK umum harus menerapkan PSAK 219 secara penuh, sementara entitas kecil bisa menggunakan SAK ETAP selama memang sesuai kriterianya.
Bagi entitas yang mulai bertumbuh dan ingin menarik investor, melakukan transisi dari SAK ETAP ke PSAK 219 akan memberikan nilai tambah dari sisi kredibilitas laporan keuangan dan kesiapan tata kelola.